بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh 'Umar ibn Al-Khoththob rodhiyallahu'anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shollallahu'alayhi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa
sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau
wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia
inginkan itu.” (Diriwayatkan oleh Imamul Muhadditsin, Abu
'Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah
Al-Bukhoriy; dan Abul Husayn Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim Al-Qusyairi
An-Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits
paling shahih)
Setelah pada edisi lalu Anda mengetahui
arti bahasa dan penjelasan kata per kata hadits yang agung ini, maka
pada edisi ini pembahasan akan kami fokuskan pada hal-hal yang bisa
dijadikan pelajaran dari hadits ini. Di mana dari pelajaran ini bisa
digunakan untuk landasan beramal kita semua.
Kita mulai dari ucapan Imam An-Nawawi:
“Diriwayatkan oleh Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits paling shahih.” Yaitu hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka, yang berjudul sama, Jami’ush Shahih. Bukan kitab karya mereka yang lain. (Imam Bukhari dalam Jami’ush Shahih no. 45; Imam Muslim, Jami’ush Shahih no. 1907)
“Diriwayatkan oleh Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits paling shahih.” Yaitu hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka, yang berjudul sama, Jami’ush Shahih. Bukan kitab karya mereka yang lain. (Imam Bukhari dalam Jami’ush Shahih no. 45; Imam Muslim, Jami’ush Shahih no. 1907)
Berkata Imam
An-Nawawi dalam kitab At-Taqrib, “Kitab pertama yang paling shahih
adalah Shahih Al-Bukhari, kemudian Shahih Muslim. Keduanya adalah kitab
paling shahih setelah Al-Quran. Dan Shahih Al-Bukhari paling shahih di
antara keduanya dan paling banyak manfaatnya. Ada yang mengatakan Shahih
Muslim paling shahih, tetapi yang benar adalah yang pertama.” (Imam
An-Nawawi, At-Taqrib wat Taisir, Hal. 1)
Beliau menambahkan, “Ash-Shahih itu
terbagi-bagi, paling tinggi adalah (hadits) yang disepakati oleh Imam
Bukhari dan Muslim, kemudian Al-Bukhari saja, kemudian Muslim, kemudian
hadits yang sesuai syarat keduanya, kemudian yang sesuai syarat
Al-Bukhari, kemudian Muslim, kemudian shahih menurut selain keduanya.
Jika mereka mengatakan: Shahih Muttafaq ‘Alaih atau ‘Ala Shihatihi
maksudnya adalah disepakati oleh Syaikhain (dua syaikh yakni Al-Bukhari
dan Muslim).”
Namun, tidak ada kitab yang melebihi
kesempurnaan Al-Quran. Oleh karena itu kitab mereka berdua pun juga
tidak selamat dari kritik para ulama hadits. Ditengarai dalam kitab
mereka berdua terdapat 210 hadits yang dikritik. Imam Al-Bukhari kurang
dari 80, sisanya adalah Imam Muslim. Ini sekaligus menujukkan kebenaran
bahwa Shahih Bukhari lebih baik dibanding Shahih Muslim.
Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Hadits Ini
1. Hadits ini berisikan sesuatu
yang amat penting dalam Islam yakni niat dan ikhlas. Amal harus ada
niat, sedangkan niat harus ada keikhlasan agar dia diterima. Oleh karena
itu para ulama menganjurkan agar siapa saja yang hendak menyusun kitab,
agar mencantumkan hadits ini di permulaan kitabnya sebagai renungan
bagi pembacanya untuk meluruskan niatnya.
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al-’Id, “Imam
Ahmad dan Imam Asy-Syafi’i -rahimahumallah- berkata: ‘Hadits ini
mencakup sepertiga ilmu’, hal itu dikatakan juga oleh Al-Baihaqi dan
lainnya. Sebabnya adalah perbuatan hamba terdiri atas hati, lisan, dan
anggota badannya. Dan niat adalah salah satu bagian dari tiga itu”.
(Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 24).
Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, bahwa beliau juga berkata, “Hadits
ini mencakup 70 bab tentang fiqih. Segolongan ulama mengatakan hadits
ini merupakan sepertiganya Islam”.
2. Hadits ini pula yang
dijadikan oleh para ulama sebagai tolok ukur/parameter untuk membedakan
(tamyiz) status hukum amal seseorang; antara adat dan ibadah, dan antara
ibadah yang satu dengan yang lainnya.
Untuk memperjelas, kami bawakan contoh.
Jika seseorang makan demi memenuhi kebutuhan perutnya, ini adalah adat,
tetapi jika makan demi menjaga kekuatan untuk ibadah dan ketaatan kepada
Allah Ta’ala maka makan seperti itu dinilai ibadah.
Niat juga yang membedakan antara nilai
puasa yang satu dan yang lainnya. Seseorang yang berpuasa pada hari
senin tetapi saat itu dia sedang berniat puasa Syawwal, maka kesunahan
puasa senin-kamis baginya telah gugur. Artinya dalam syariat, dia
dinilai sedang puasa Syawwal, bukan puasa senin-kamis. Sedangkan
menggabungkan berbagai niat puasa dalam satu hari, tidak ada dasarnya
dalam syariat, walau ada ulama yang membolehkannya. Hal ini sama halnya
dengan seorang yang masuk ke masjid langsung bergabung dengan jamaah
shalat fardhu, maka kesunahan shalat tahiyatul masjid baginya telah
gugur.
Hadits ini telah melahirkan sebuah
kaidah fiqih yang sangat terkenal, dan Imam As-Suyuthi telah
memasukkannya dalam kaidah pertama dalam kitab Al Asybah wan Nazhair,
yakni: اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Urusan/perkara tergantung maksud-maksudnya”. (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Oleh karena itu, syariat menghargai
orang yang berniat ingin shalat malam tetapi dia ketiduran, maka dia
tetap mendapatkan pahala shalat malam. Hal ini sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Dzar rodhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah shollallahu'alayhi wasallam bersabda, “Barang
siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan
shalat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan
apa yang diniatkannya”. (HR. Ibnu Majah No. 1344)
Begitu pula orang yang berniat ingin
shalat berjamaah di masjid, tetapi sesampainya di sana dia tertinggal
jama’ah, maka Allah Ta’ala tetap memberikannya nilai pahala berjama’ah.
Hal ini dengan syarat dia tidak menyengaja untuk berlambat-lambat menuju
masjid. Dari Abu Hurairah rodhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah shollallahu'alayhi wasallam bersabda, “Barang
siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke masjid
(untuk berjama’ah) dan dia lihat jama’ah sudah selesai, maka ia tetap
mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjama’ah, tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (HR. An Nasa’i No. 855, Abu Daud No. 564)
Berkata Imam Abul Hasan Muhammad Abdil Hadi As -Sindi -rahimahullah- “Secara
zhahir, hakikat keutamaan jama’ah adalah dilihat dari kesungguhan dia
untuk melaksanakannya, tanpa memperlambat diri atau menunda-nunda. Jika
demikian, ia tetap dapat pahala jamaah, baik sempat bergabung dengan
jamaah atau tidak. Maka, barang siapa yang mendapatkan jamaah sedang
tasyahud, maka pahalanya sama dengan yang ikut sejak raka'at pertama.
Adapun urusan pahala dan keutamaan tidak dapat diketahui dengan ijtihad.
Jadi, sepatutnya kita tidak peduli dengan pendapat yang bertentangan
dengan hadits-hadits di atas”. (Syarh Sunan An Nasa’i, 2/113. Syamilah)
Begitu pula dengan kesalahan yang tidak
diniatkan untuk dilakukan dan juga karena terpaksa, seperti membunuh
tidak sengaja (peluru nyasar), terpaksa mengaku kafir demi menjaga jiwa
seperti yang dilakukan oleh sahabat Nabi, Amr bin Yasir rodhiyallahu'anhu, dan contoh
lainnya. Hal ini berdasarkan pada ayat,
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah.” (QS. Al Baqarah: 286)
Dari Abu Dzar rodhiyallahu'anhu, Rasulullah shollallahu'alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala melewatkan saja (memaafkan) bagi umatku; kesalahan tidak sengaja, lupa, dan orang yang dipaksa”. (HR. Ibnu Majah No. 2043)
Dalam kehidupan suami isteri juga
demikian, Thalaq pun tidak jatuh bagi isteri yang ditholaq suaminya
yang sedang mabuk, tidak sadar, atau marah yang membuatnya tidak
terkendali, sebab ia tidak meniatkannya secara sadar. Inilah pandangan
jumhur (mayoritas) ulama seperti Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ahmad,
Bukhari, Abusy Sya’tsa’, Atha’, Thawus, Ikrimah, Al-Qasim bin Muhammad,
Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Laits bin Sa’ad, Al-Muzani, Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa
tholaq baru jatuh ketika sadar, akal normal, dan sengaja.
Namun, ada juga ulama yang berkata,
thalaq orang mabuk adalah sah, seperti (pendapat) Said bin Al-Musayyib, Hasan
Al-Bashri, Az-Zuhri, Asy-Sya’bi, Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Abu hanifah,
dan Asy-Syafi’i.
Demikianlah, betapa pentingnya kedudukan
niat dalam menentukan status hukum sebuah amal perbuatan manusia.
Tetapi, ada ketetapan lain yang tidak bisa diubah oleh niat, yakni
perkara keharaman yang telah pasti dan jelas, tidaklah menjadi halal
walau diniatkan dengan niat yang baik.Berjudi tetaplah haram walau si
pemainnya berniat untuk menjadikan judi sebagai sarana silaturahim dan
menghidupi anaknya. Zina tetaplah haram walau pelakunya meniatkannya
sebagai sarana untuk mendakwahi pelacur. Mencuri tetaplah haram walau
berniat untuk disedekahkan. Menggunakan jimat tetaplah haram walau
berniat demi kemenangan jihad melawan musuh dan masih banyak contoh
lainnya.
3. Hadits ini juga menegaskan
betapa pentingnya ikhlashun niyyah. Sebab keikhlasan merupakan syarat
diterimanya amal shalih sebagaimana yang telah diketahui. Bahkan amal
yang tidak dilaksanakan dengan hati yang ikhlas, seperti karena ingin
dipuji, ingin ketenaran, ingin harta dunia, dan semisalnya, akan membuat
pelakunya celaka. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan”. (QS. Hud (11): 15-16)
Dari Abu Hurairah rodhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah shollallahu'alayhi wasallam bersabda, “Barangsiapa
yang menuntut ilmu yang dengannya dia seharusnya menginginkan wajah
Allah, (tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan
dunia, maka dia tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud No. 3664)
Dari Ubay bin Ka’ab , bahwa Rasulullah bersabda,
فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ
“Barangsiapa di antara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat”. (HR. Ahmad No. 20275)
Kesimpulan
- Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah Ta’ala).
- Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
- Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah Ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.
- Seorang mu`min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
- Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah Ta’ala maka dia akan bernilai ibadah.
- Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
- Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan semua amal kita karena hanya mengharap ridha-Nya. Amin.
Rujukan : Syarah Hadits Arba’in, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Imam
Ibnu Daqiq Al-’Id, Maktabah Syamilah
sumber: http://www.mediasalaf.com/aqidah/penjelasan-hadits-niat-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar